|
Hutan Desa |
Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan mendapat akses legal untuk mengelola hutan negara dimana mereka hidup dan bersosialisasi. Hutan negara yang dapat dikelola oleh masyarakat pedesaan disebut Hutan Desa. Pemberian akses ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut- II/2008, tentang Hutan Desa, yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 2008. Adapun kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan, dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan bupati/walikota (PusatInformasi Kehutanan, 2008).
Untuk dapat mengelola hutan desa, Kepala Desa membentuk Lembaga Desa yang nantinya bertugas mengelola hutan desa yang secara fungsional berada dalam organisasi desa. Yang perlu dipahami adalah hak pengelolaan hutan desa ini bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan, karena itu dilarang memindahtangankan atau mengagunkan, serta mengubah status dan fungsi kawasan hutan. Intinya Hakpengelolaan hutan desa dilarang digunakan untuk kepentingan di luar rencana pengelolaan hutan, dan harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Lembaga Desa yang akan mengelola hutan desa mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada Gubernur melalui bupati/walikota. Apabila disetujui, hak pengelolaan hutan desa diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap lima tahun sekali.
Apabila di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa terdapat hutan alam yang berpotensi hasil hutan kayu, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam dalam Hutan Desa. Dan apabila di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa dapat dikembangkan hutan tanaman, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan IUPHHK Hutan Tanaman dalam Hutan Desa. Namun dalam pemanfaatannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alammaupun hutan tanaman. Selain itu pemungutannya dibatasi paling banyak 50 m3 tiap lembaga desa per tahun.
Dengan mendapat hak pengelolaan hutan desa, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan berpotensi sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena pemegang hak pengelolaan hutan desa berhak memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Namun untuk di hutan lindung tidak diijinkan memanfaatkan dan memungut hasil hutan kayu. Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa, baik yang berada di hutan lindung maupun hutan produksi masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan usaha, yaitu budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya pakan ternak. Sedangkan dalam memanfaatkan jasa lingkungan dapat melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon.
Hasil identifikasi desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan tahun 2007 yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Biro Pusat Statistik di 15 propinsi, yaitu Sumut, Sumbar, Riau Sumsel, Bangka Belitung, Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sultra, dan Maluku terdapat 31.957 desa. Dengan rincian 1305 desa terdapat di dalam kawasan, 7.943 berada di tepi kawasan hutan, dan 22.709 berada di luar kawasan hutan.
Dengan jumlah desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang begitu besar, maka diperlukan dukungan kelembagaan bersama antara Kementerian Kehutanan yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kawasan hutan, Kementerian Dalam Negeri yang bertanggung jawab terhadap pemerintahan dan masyarakat pedesaan di daerah (kabupaten, kecamatan dan desa) dan Kementerian Pertanian yang bertanggung jawab terhadap Sumberdaya Manusia (petani dan penyuluh) pedesaan.
Hal ini menuntut perhatian kita, karena di tingkat lapangan petani atau masyarakat mengelola hutan rakyat dan lahannya dengan berbagai jenis tanaman baik tanaman hutan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura, tanaman pangan dan juga ternak mereka yang terkenal disebut „intergrated agroforestry farming system“. Tidak ada petani atau masyarakat pedesaan yang mengelola hutan rakyat dan lahannya secara monokultur. Untuk itu dibutuhkan adanya dukungan kebijakan Multi-Sektor berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam negeri dan Kementerian Pertanian.